QLC Part 2 - Feeling Anxious and How I Can Handle it

By tkkarsm - April 24, 2023


Anxiety is a normal response to stress, and isn’t always a bad thing. Rasa takut dan cemas yang tiba-tiba datang sebenarnya hal yang wajar dialami oleh hampir semua orang dengan sebab yang berbeda-beda. Kadang, fenomena ini disertai gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, tangan berkeringat, atau sulit bernapas.

Belum lama ini tepatnya sekitar tahun 2021, riset dari Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia menyatakan bahwa usia 16-24 tahun adalah periode kritis karna 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan dan 88% mengalami gejala depresi. Dan benar saja, ini sangat related dengan yang aku alami di tahun itu.

Setelah awal tahun 2021 aku kehilangan sahabat paling dekat (read : QLC Part 1 - Fase Kehilangan), bersamaan dengan itu aku baru saja memulai karir di pekerjaan pertamaku. Masuk di dunia kerja untuk pertama kalinya, menjadi salah satu man power dalam team baru di perusahaan yang baru dibentuk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketika terjun di dunia kerja, training kerja hanyalah angin lalu. Setiap orang baru harus punya kecepatan untuk menyesuaikan ritme perusahaan yang sudah berjalan lebih dulu daripada kedatangannya SDM baru. Aku sangat beruntung bergabung dengan perusahaan yang baru, karna artinya aku belum tertinggal jauh, sehingga peluang untuk menyamakan ritme bisa berjalan lebih cepat. Ya walaupun tantangannya juga berat karna harus ‘babat alas’ ygy. Tapi itu pengalaman yang cukup menantang, SERU, and worth to remember !

Dunia kerja yang sesuai dengan bidang yang aku suka “Business Industry”, bikin aku merasa enjoy dalam bekerja sehari-hari. Dengan bekal ilmu dasar dari kampus yang sesuai dengan bidang kerja dibarengi pengalaman ngejalanin small business dan pengalaman management organisasi, dunia kerja di awal serasa mencapai center ikigai buatku. Manusia kecil dan ramping seperti aku menjelma jadi gurita dengan banyak tangan karna harus membantu back up beberapa divisi mulai dari finance and accounting, ngerangkap HRD, ngerangkap admin legal, ngerangkap public relationnya kantor, ngerangkap sekretaris direksi, dalam satu waktu karna emang masih kekurangan orang taktis sih waktu itu. Sebulan dua bulan masih oke, fast track kenaikan salary bikin tambah semangat kerja. Lubang perasaan kehilangan sahabat sama sekali belum tampak karna hari-hariku terisi dengan kerja, kerja, dan kerja.




Tiga bulan empat bulan berikutnya progress semakin tampak, kapasitas produksi semakin meningkat, tapi aku masih saja jadi gurita bertentakel banyak. Fast track promote naik jabatan, naik salary tentunya hehehe. Tapi tiba-tiba selamat datang covid-19 di kantor kami!! Ya, aku kena covid dan virus tersebar ke teman-teman kantor di saat produktivitas kantor sedang meningkat. Antara otak harus tetep jalan mikir kerjaan tapi imun dan fisik lemah, gelombang stress mulai datang. Aku berusaha tetap tenang, memberi sugesti ‘u can do it’ tapi tetep gak mempan dan yang datang justru malah kecemasan yang berlebihan. Usut punya usut, ternyata yang aku rasakan waktu itu memang sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Ipsos Institute, pandemi virus corona telah memperburuk kesehatan mental hampir setengah dari jumlah orang dewasa di 30 negara. Dan setelah aku korek lebih dalam lagi, kecemasanku datang karna rasa takut yang berlebihan akan turunnya prestasi kerja. Takut mengecewakan orang-orang yang sudah memberi kepercayaan padaku. Ya, manusia ramping ini sejak kecil sangat ambis untuk do the best di tiap tahapan hidupnya, sampai-sampai tidak sadar bahwa tujuannya menjadi bias/kabur dan malah kehilangan arah.

Chaos. Semua orang tersulut emosi. Aku yang anaknya anti kata-kata kasar,  menjadi penampung dan penengah, seperti ember yang menampung emosi orang banyak disaat diri sendiri diserang anxious. Rasanya MashaAllah, ujian kesabaran dimulai. Manusia kecil ini anaknya gak bisa untuk bercerita ke orang lain mencurahkan isi kepala dan isi hati karna selalu takut merepotkan dan membebani orang lain karna aku paham sekali, semua orang sedang ada di fase sulit waktu itu, hanya bisa bercerita pada orang yang benar-benar hatiku percaya sementara diaryku tempat berkeluh kesah yang paling aku percaya baru saja dipanggil Tuhan. Ujungnya, hasbunallah wanikmal wakil.

Tiga bulan kesulitan tidur karna stress. Tidak pernah bisa tidur nyenyak karna tiap kali tidur serasa otaknya masih dalam keadaan berpikir. Otak rasanya panas, cepat marah, kesulitan fokus, otak makin lemot diajak mikir jernih dan tentunya kecemasan makin parah. Libur sehari tiap minggu benar-benar tidak cukup untuk aku membasuh lelah. Mau ambil cuti belum bisa, karna belum genap setahun btw. Puncaknya, aku kehilangan banyak energi dan tangan guritaku sudah tidak berfungsi dengan baik. Pertolongan datang, beberapa orang dihadirkan untuk back up pekerjaanku tapi aku sudah dalam keadaan sangat-sangat low vibration. BURN OUT.

***

Hands up ! sebagai manusia yang dulunya punya self esteem lumayan tinggi, rasanya malu ketika dikasih kepercayaan, digaji, dan disayang tapi gak bisa kasih feedback performa kerja yang lebih dari benefit yang saya terima. Saat itu aku berpikir tentang sesuatu yang bisa aku lakukan. Aku menemukan jawabannya. Yaa.. aku butuh jeda, istirahat yang cukup untuk memulihkan energi tanpa distraksi dan tanpa merugikan orang lain. Ibarat air keruh, aku butuh waktu untuk tenang supaya kotoran-kotoran dalam air bisa mengendap dan jernih lagi.

Seperti sudah jadi skenario dari Allah SWT, dengan aku punya usaha sampingan ternyata sangat membantu aku untuk membuat keputusan lebih mudah. Ada hal yang lebih penting untukku lebih dari sekedar uang, yaitu sehat akal, hati, dan fisik. Dan di titik itu pula aku belajar menaruh prioritas nilai-nilai kehidupan dalam hidupku. Pikirku dulu, ‘ibarat luka kaki, jika aku paksakan berjalan saat cidera tanpa aku obati dulu, aku justru akan kehilangan kaki untuk melangkah. Tapi jika aku berhenti dulu untuk mengobatinya, nanti aku bisa melanjutkan langkah yang jauh tidak hanya dengan berjalan, justru kemungkinan malah bisa berlari lagi.’ Tentu dengan menyadari bahwa setiap pilihan ada resiko yang bukan sekedar dirasakan, tapi juga harus ‘dipertanggungjawabkan’. Dengan bismillahirrohmanirrohim doa dan restu kedua orang tua, akhirnya aku mantap resign di akhir September 2021 dari pekerjaan pertamaku dan memberi kesempatan untuk diri ini mengobati kelelahan psikis. Setidak-tidaknya membuat keputusan disaat dalam keadaan sadar akan lebih mudah dipertanggungjawabkan. Penasaran gak dengan caraku selanjutnya dalam perjalanan melewati fase quarter life crisis ini? Tunggu kelanjutan ceritaku di postingan selanjutnya ya, see you !

 

 ----

Referensi terkait :

https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658

https://www.romper.com/p/how-to-explain-high-functioning-anxiety-because-its-not-as-straightforward-as-it-sounds-71751

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar