![]() |
| www.freepik.com |
Melakukan self-discovery seperti yang sudah ku tulis dalam postingan sebelumnya (disini) memang tidaklah semudah membuka mata dari pejaman. Terlebih, bagi para penyintas major depression. Untuk para penyintas depresi biasanya mereka akan kehilangan minat pada segala hal, kehilangan arah dan tujuan, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan fisiknya selalu merasa lemah. Jangankan untuk berolahraga, sekedar turun dari tempat tidurnya pun terkadang sangat berat ketika penyintas depresi sedang berada di puncak depresinya. Dan salah satu hal yang paling menyebalkan untuk para penyintas depresi adalah ruminasi pikiran.
Ruminasi pikiran adalah serangkaian pikiran yang terus berulang tanpa ujung atau singkatnya berkali-kali memikirkan hal yang sama. Aku pernah menyebutnya sebagai labirin atau blackhole, yang pernah aku tulis dalam postingan ini (Merangkai Puzzle Kehidupan Fase Quarter). Hal itu kadang kala sulit untuk dikendalikan, sulit untuk menemukan jalan keluar dari ruminasi. Tapi, alhamdulillah dalam Islam segala sesuatu sudah ada petunjuk-petunjuk yang bisa dijadikan pedoman berkehidupan, yaitu Al-Quran.
Kala aku sadar bahwa sedang dalam labirin ruminasi, aku segera mengarahkan pikiran untuk fokus pada bagaimana cara untuk keluar dari labirin itu. Di fase itulah aku merasakan lemah selemah-lemahnya dan hanya satu solusinya, yaitu mendekat pada Allah swt untuk meminta pertolongan. Ada ayat yang aku jadikan pedoman kala itu, yaitu Q.S. Ath-Thalaq ayat 2-3 yang berbunyi:
"Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia (Allah) akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rizki dari jalan yang tidak ia sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka cukuplah Allah baginya, Sesungguhnya Allah melaksanakan kehendak-Nya, Dia (Allah) telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu".
Dari ayat itu aku baca berulang-ulang sambil meresapi dalam hati terutama pada kalimat ‘cukuplah Allah baginya’. Untuk mengakhiri ruminasi pikiran, aku perlu meletakkan semua pikiran yang terlintas, bermeditasi dan benar-benar hanya fokus menghadirkan Allah swt di dalam pikiranku. Dari sana baru aku paham apa makna ‘cukuplah Allah baginya’. Depresi sangat sulit dimengerti oleh orang lain. Bahkan sedekat apapun kita dengan orang lain, belum tentu orang tersebut paham dengan apa yang dialami, yang dirasakan penyintas depresi. Disanalah aku semakin meyakini benar-benar the one and only yang bisa kasih pertolongan hanya Allah SWT.
***
Dan pada suatu malam, jelang pergantian tahun 2022 menuju tahun 2023. Keputusasaan diriku membawaku berdoa pada Allah swt agar diberikan cahaya barang kecil tidak apa, yang penting agar aku bisa melihat jalan keluar dari blackhole itu. Lalu diri ini menyadari bahwa butuh uluran tangan dari orang lain agar bisa bangkit kembali. Maka dengan keyakinan penuh, aku berdoa pada Allah, meminta dikirimkan orang-orang baik yang bersedia mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit dan keluar dari blackhole itu. Dan Alhamdulillah.. di pekan ketiga setelah doa itu ku panjatkan, Allah kabulkan. Allah kirimkan orang-orang baru dalam hidupku dan mereka sangat membantuku untuk mewarnai kembali hari-hariku. Benar-benar.. Allah Maha Baik. Allah Penyayang pada seluruh makhluk-Nya.
Aku tidak pernah menduga sebelumnya bahwa dalam perjalanan kehidupanku ini, aku harus melalui fase yang cukup menyebalkan. Tapi ternyata, setelah bisa melaluinya, aku membaca dan menafsirkan bahwa fase menyebalkan itu adalah 'gift' dari Allah SWT supaya aku lebih mendekat dan bergantung pada-Nya.
***
Setiap orang, memiliki kisah perjalanan hidupnya masing-masing. Apa yang aku tuliskan adalah sebagai pengingat untuk diriku sendiri, bilamana dikemudian hari aku melalui hari-hari yang menyebalkan, akan aku ingat bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja dan menjadi indah jika tetap menaruh seutuhnya prasangka baik dan berharap pada Allah SWT. Kalaupun ini bermanfaat untuk kalian yang ikut membaca, ku doakan semoga kalian senantiasa dalam keadaan sehat jiwa raganya dan selalu dalam penjagaan terbaik Allah SWT. Ameen 💓
Perjalanan menyadari dan menerima emosi negative telah
dilakukan. Dampak positif di fase itu adalah menjadi lebih “mindful” atau
“berkesadaran” di hari-hari setelahnya. Yang tadinya sulit mengajak otak untuk
berpikir lebih jernih dan rasional, “berkesadaran” sangat membantu diri
mengkondisikan hal itu.
Pada praktiknya, menyadari dan melakukan penerimaan yang baik
membutuhkan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa dapat hadir ketika kita bisa
terhindar dari berbagai macam distraksi entah dari orang lain, situasi dan
kondisi lingkungan sekitar, ataupun riuh gemuruhnya perang antara batin dan
otak dalam diri sendiri.
Setiap orang pasti memiliki pola yang berbeda dalam menemukan
ketenangan jiwanya. Setelah post sebelumnya aku menuliskan cara instant
bertahan dalam suasana hati yang buruk di postingan yang ini , kali ini yang akan aku bahas adalah
pola yang aku praktikkan dalam membentuk ketenangan diri ‘dari dalam’ sebagai
upaya menyembuhkan diri sendiri.
***
Secara logika, ketika seseorang “sadar” akan sesuatu yang
buruk atau tidak baik sedang bersemayam dalam diri, gerak reflek tubuh akan
selalu memberikan penolakan pada hal buruk tersebut dengan ditandai adanya
perasaan-perasaan yang tidak nyaman. Sebagaimana hukum aksi-reaksi, ada “buruk”
pasti ada “baik” juga. Dengan menyadari bahwa ada hal-hal dalam diri yang rusak
artinya ada yang harus segera dibenahi, ada yang sakit harus segera diobati.
Maka dari itu, memberikan ruang private untuk diri sendiri
sebagai sarana self healing aku lakukan, antara lain dengan hal-hal berikut ini:
1. Mengurangi Interaksi Sementara Waktu
Masa remaja, aku sangat senang jika
waktuku habis untuk terlibat aktif dalam beberapa kegiatan organisasi
kepemudaan ataupun kegiatan baru seperti pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan
minat bakatku. Bagiku, disana adalah tempat melatih softskill untuk membekali
kehidupan di masa yang akan datang. Hampir setiap hari selalu saja ada kegiatan
yang aku lakukan dan pasti berinteraksi dengan orang baru.
Dulu, aku senang sekali berjejaring
dengan orang-orang baru. Aku bisa mendapatkan banyak insight baru juga dari
mereka. Namun, semuanya berubah ketika aku mengalami kelelahan mental. Emosi
negative yang datang akan selalu menguras tenaga, sehingga badan menjadi lebih
cepat lemas meskipun hanya digunakan untuk beraktivitas ringan. Bertemu dengan
banyak orang saat kondisi sedang demikian rasanya cukup berat karena energi
bisa terkuras habis apalagi untuk para introvert sepertiku. Dari situlah aku
memutuskan untuk mengurangi intensitas bertemu orang lain dengan
mengurangi kegiatan-kegiatanku untuk sementara waktu.
2. Mencari Support System
Setelah mengurangi kegiatan di luar rumah, aku lebih banyak
menghabiskan hari-hariku di dalam rumah dan melakukan bonding lebih kuat dengan
ibuku, orang terdekat pertama dalam hidupku. Aku sangat bersyukur Allah SWT
masih kasih kesempatan waktu untuk bisa bersama ibu. Beliaulah yang menemani
dan sabar menghadapiku dengan banyak mengajak bicara dan menasehati banyak hal
sembari membesarkan hatiku. Satu hal nasehat yang paling merasuk sanubariku, “menghadapi
segala masalah dan keadaan kunci utamanya itu ‘sabar’. Coba digelar
(read: diurai) – digulung (read: diringkas) apa yang membuat stress,
lepaskan.”
Disini, walaupun interaksi dengan
orang luar berkurang, bukan berarti benar-benar terputus konektivitas dengan
orang lain. Mencari support system itu penting dan sangat dibutuhkan. Carilah
support system dari orang yang paling dipercaya dan diyakini disekitar kita,
jika tidak menemukan, sangat disarankan mencari bantuan professional dari
psikolog atau pskiater yang ada dalam jangkauan kita. Dengan begitu, kita akan
dapat tambahan energi menjadi lebih kuat dalam menjalani fase-fase sulit dalam
kehidupan.
3. Membatasi Penggunaan Media Sosial
Sebagai pengguna media social aktif, pada masa-masa
membutuhkan ketenangan jiwa, menonaktifkan sementara waktu media social adalah
hal yang saya lakukan. Atau, tidak apa-apa untuk mute postingan orang lain yang
kita rasa terlalu ‘berisik’. Tidak apa-apa untuk buat akun baru dengan lingkar
pertemanan yang lebih private dan sehat. Yang penting, harus tetap bisa
mengendalikan diri untuk tidak melewati batas mengumbar kesedihan di social
media secara berlebihan, itu tidak baik.
Pada tahap ini, bukan hanya akun Instagram yang saya
non-aktifkan. Aku berganti kontak baru dan hanya mengabarkan pada beberapa
orang tertentu. Aku terharu ketika tiba-tiba seorang teman menghubungiku melalui pesan WhatsApp ke nomor baruku, menanyakan kabar karena melihat aku lama tidak aktif di Instagram maupun di WhatsApp. Anies Pungkas, barakallah and
thank you for reach me ya Aniess.
4. Melakukan Journaling & Meditasi
Dulu, saat aku sedang dipuncak stress, caraku melepaskan
stress itu adalah dengan tidak memikirkan apa-apa dan hanya duduk termenung sambil
merasakan aliran napas. Orang-orang menyebutnya meditasi. Terasa kosong, tapi
setidaknya bisa sesaat isi kepala ini terasa ringan.
Selain itu, journaling ini sempat aku lakukan hampir tiap
hari di tiap pagi sambil menyeduh kopi dan lihat tanaman di depan kaca pintu
ruang kerja favoritku. Aku menuliskan apapun yang ingin aku tulis.
Termasuk perasaan hati, hal-hal yang aku syukuri, kilas balik perjalanan diri,
ataupun harapan-harapan dan ide-ide yang tiba-tiba mucul. Tuliskan bebas,
sebebas-bebasnya..
5. Melakukan Hobi
Nyatanya, kadang kala orang yang sedang depresi akan
menemukan titik dimana dia tidak bisa lagi merasakan kesenangan pada hal-hal
yang semula sangat ia senangi. Aku suka bunga, itulah sebabnya aku punya usaha
sampingan florist. Lagi-lagi aku rasa aku sangat disayang sama Allah dan
seperti seolah sudah disiapkan scenario terbaik untukku. Resign dari tempat
kerja tentu salah satu sumber pendapatan jadi tertutup. Setelah sempat meliburkan
operasional floristku, mau tidak mau aku
harus kembali melakukan hobiku sambil membuka jalan rejeki lainnya meskipun di
awal rasanya masih cukup berat.
Setiap pagi melihat bunga-bunga yang cantik. Warna-warni
wraping tertata rapi menggantung di rak. Mix and match bebungaan dan membiarkan
tangan lentikku melipat dan mengemas wraping untuk jadi sebuah buket bunga yang
cantik ternyata sangat membantu aku untuk mengisi perasaanku sendiri berangsur-angsur
jadi lebih baik.
6. Berolahraga
Saat kesehatan mental sedang terganggu, pasti rasanya setiap
hari tidak berenergi. Apalagi untuk orang yang mengalami depresi, kadar
serotonin dalam otak biasanya kurang, dan salah satu hal yang bisa membantu
mengisi asupan serotonin adalah olahraga.
Memilih olahraga yang ringan dan paling disukai itu penting.
Aku memilih bersepeda untuk membantu memulihkan diri. Aku ingat untuk pertama
kalinya aku bersepeda keluar rumah setelah beberapa bulan mengasingkan diri
rasanya seperti hatiku secara otomatis menjadi lebih terbuka. Memandang sekeliling
lebih luas dan menghirup udara lebih banyak. Untungnya, tinggal di desa membantuku bisa dapat asupan udara yang masih sehat. Alhamdulillah…
Ada banyak cara lainnya yang bisa dilakukan untuk melakukan
recovery pada diri sendiri. Kuncinya adalah KITANYA SENDIRI HARUS BERSEDIA
untuk melangkah dari keadaan buruk itu. Karna saat seperti itu, orang lain pun
akan kesulitan untuk memahami kita. Kalau bukan kita sendiri yang menyediakan
diri untuk melangkah, kita gak akan pernah keluar dari keadaan itu. Semangat ya
!!
Stress, sedih berkepanjangan, marah, merasa gagal, khawatir/cemas adalah beberapa dari bentuk emosi negatif yang semua orang pasti pernah merasakannya. Sesuatu yang sangat lumrah dan justru menandakan bahwa kita benar-benar seorang ‘manusia’.
Denial. Hal yang dulu paling sering saya lakukan
adalah denial dengan perasaan-perasaan negatif yang muncul. Denial dengan
menganggap ’gak papa kayak gini’, ‘masih baik-baik aja kok, jadi gak papa’, ‘bisaa,
pasti bisa’ dan kalimat positivity lainnya.
Sebenarnya
tidak sepenuhnya salah, jika kadang saat emosi-emosi negatif itu muncul diredam
dengan sugesti positif. Hanya saja, jika
terlalu sering dilakukan justru akan jadi bom waktu. Tanpa disadari,
sugesti-sugesti positif yang diberikan untuk diri sendiri saat sedang diserang
emosi negatif adalah bentuk melarikan diri dari emosi negatif itu. Melarikan
diri, tidak mau merasakan emosi negatif padahal secara nyata dan secara alami, emosi negatif itu memang wajar kadang-kala hadir
dalam hari-hari kita. Kita harus menyadari dan menerima emosi itu agar bisa
mengendalikannya lebih baik.
Anxiety is a normal response to stress, and isn’t always a bad thing. Rasa takut dan cemas yang tiba-tiba datang sebenarnya hal yang wajar dialami oleh hampir semua orang dengan sebab yang berbeda-beda. Kadang, fenomena ini disertai gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, tangan berkeringat, atau sulit bernapas.
Disclaimer : Postingan pada bagian ini akan lebih mirip dengan cerpen, tapi ini nyata.
Aku memanggilnya Via. Kita
dipertemukan tahun 2010 dalam satu kelas SMP. Kami berteman biasa seperti pada
umumnya, sampai SMA pun kami kembali
jadi satu. Bertambah dewasanya kami, banyak hal yang kami bagi satu sama lain
hal seneng maupun susah sampe hal sepele dan receh yang kadang lebih banyak gak
pentingnya tapi kita bisa ketawa bareng. Kebetulannya, kami berdua punya
persoalan pribadi yang hampir sama, jadi dia paham banget bagaimana keadaan
saya saat orang lain gak bisa paham. Pun sebaliknya.
Guru-guru kami baik guru SMP
maupun SMA yang sering melihat kami berdua sering mengira bahwa kami saudara
kembar. Ya gimana ya, kami sering satu bangku tidur di kelas,
ekstrakurikuler sama, sampai pilihan jurusan kami saat SMA sama juga. Dimana ada
Tika disana ada Via. Kami berdua jaman SMA punya hobi yang sama, sama-sama suka
dance, dan kami anak yang paling
sering bolos sekolah buat latihan dance
karna kami berdua anak kesayangan Ibu Titik hahaha.
Assalamualaikum ! Setelah satu tahun vakum tidak membuat tulisan apapun di blog pribadiku ini, akhirnya I’m comeback !!! Kangen sekali rasanya menuangkan cerita-cerita kehidupan setahun belakangan ini. Dan mumpung masih dalam edisi turning 26th yo, aku mau berbagi pengalaman menjalani kehidupan di usia 25 tahun kemarin, yang banyak orang bilang… 25 tahun itu adalah tahun dimana diri kita akan menghadapi QLC (Quarter Life Crisis).

source by https://nypost.com/article/best-jigsaw-puzzles-for-adults-where-to-buy/
Dulu, aku pikir Quarter Life Crisis hanya sekedar omong
kosong anak jaman sekarang, ternyata kemarin aku merasakannya sendiri fase itu,
hahaha boomerang deh! Seperti masuk dalam labirin yang gelap, banyak cemas dan
gelisah, tak tau arah tujuan, merasa tidak mampu dan tidak pantas untuk apapun,
merasa tidak bisa terhubung dengan orang lain karna kebingungan sendiri. Tapi
Alhamdulillah saat ini InshaAllah aku sudah berdiri lagi di luar labirin itu.





